Selasa, 16 Juni 2015

Hubungan Suami Istri di Bulan Ramadhan

HUBUNGAN SUAMI ISTRI DI BULAN RAMADHAN

A. Pendahuluan

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah melaksanakan puasa wajib di bulan ramadhan. Sebagaimana Allah telah memerintahkan secara tegas salah satunya dalam Al Baqarah 183:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Namun kemudian banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang timbul berkaitan dengan pelaksanaan puasa itu sendiri. Salah satunya yaitu yang berkaitan dengan hubungan dalam suatu ikatan pernikahan. Dimana pemenuhan kebutuhan biologis tidak serta merta mudah untuk dikesampingkan.

Tulisan ini mencoba memberi solusi atau pemecahan dari masalah-masalah yang timbul seputar hubungan antara suami istri di bulan ramadhan.

B. Pembahasan Hukum

1. Hukum menikah ketika bulan ramadhan

Pada dasarnya hukum menikah itu tidak pernah ada kaitannya dengan waktu. Tidak juga ada waktu-waktu yang terlarang untuk menikah. Sehingga apabila kita akan melangsungkan akad nikah pada jam 00.00 WIB hari Jum’at Kliwon tanggal 12 Desember 2012, sebenarnya sah-sah saja. Baik dalam segi agama maupun hukum formal. Namun, banyak kepercayaan di masyarakat kita yang tidak membolehkan menikahkan anak pada bulan Rajab, atau bulan Sya'ban atau bulan Muharram.
Keyakinan seperti ini sebenarnya tidak punya dasar dari agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada dasar ketentuannya dari Al-Quran dan tidak juga dari hadits. Bahkah tak ada satu pun ulama yang melarang akad nikah pada waktu atau jam tertentu. Demikian juga, tidak ada ketentuan untuk melarang akad nikah di bulan Ramadhan, baik dilakukan pada siang hari maupun pada malam hari. Baik dalam keadaan puasa atau pun dalam keadaan udzur syar'i.
Justru rasulullah mengajarkan dalam sebuah riwayatnya:

َعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
ِ
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami:
"Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.

Sebagaimana kita ketahui bahwasannya hidup, mati dan jodoh tidak satupun manusia yang dapat menerkanya. Maka ketika jodoh itu bertemu di bulan Ramadhan dengan izin Allah, maka sangat dianjurkan untuk sesegera mungkin melakukan akad nikah. Meskipun pada kenyataannya akan banyak terjadi kendala dari pihak pengantin baru. Tapi, harus kita garis bawahi bahwa menikah di bulan ramadhan itu sah hukumnya untuk dilaksanakan, baik pagi, siang, maupun malam hari.

2. Hukum berhubungan suami istri ketika bulan ramadhan.

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.( al-Baqarah 187).

Dari ayat diatas sudah sangat jelas dan tegas dijelaskan bahwasannya tidak ada larangan bagi kaum muslim yang sudah menikah untuk melakukan hubungan suami istri di malam bulan ramadhan. Waktu tepatnya yaitu ketika adzan maghrib sampai sebelum adzan shubuh.
Jika menilik dari madlarat yang akan sangat mungkin terjadi dalam sebuah keluarga yang menjalankan puasa, berhubungan badan di malam ramadhan justru sangat dianjurkan sekali. Hal ini berkaitan dengan kemungkinan munculnya syahwat atau nafsu untuk menggauli istri atau suami di siang hari. Dimana hal ini dilarang atau diharamkan oleh islam. Dapat kita simpulkan bahwa jika sepasang suami istri pada malam harinya telah melakukan hubungan suami istri, maka di siang harinya mereka akan lebih khusyu’ dalam menjalankan ibadah. Hal ini karena sudah tidak terganggu lagi dengan syahwat yang note bene sudah terpenuhi pada malam hari.

3. Hal-hal yang berkaitan dengan hubungan intim di bulan ramadhan:

a). Hukum bagi suami istri yang bercumbu     di siang hari di bulan ramadhan.

1. Bercumbu dengan ‘azl.

Apabila ia mencumbui istrinya dengan tujuan untuk memenuhi syahwatnya dengan mengeluarkan maninya di luar daripada farji (kemaluan) istrinya maka ia dianggap ber-dosa. Karena:

sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda dari apa-apa yang meriwayatkan-nya dari Rabb-nya,
“meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena Aku.”

Namun apabila ia mencumbui istrinya dalam keadaan tidak mengetahui atau bodoh akan hukumnya maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah dan apabila ia mengetahui maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah jika ia mengetahui hal itu. Dan apabila ia mencumbui istrinya sedangkan ia dalam keadaan mengetahui bahwa mencumbui ini adalah hal yang diperbolehkan baginya kemudian ia memeluknya dan ia beranggapan bahwa hal ini tidak haram atasnya kecuali jima’ kemudian setelah itu ia mengeluarkan mani dan ia tidak bermaksud untuk mengeluarkan mani, maka tidak apa-apa baginya. Dan walau bagaimanapun maka tidak diwajibkan atasnya untuk memberikan kafarah jima’ pada setiap keadaan, dan ini adalah ucapan (pendapat) Abu Muhammad bin Hazm dan ini adalah shahih.

2. Bercumbu sampai keluar madzi tetapi tidak penetrasi.

Permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama: Sebagian mereka berpendapat batalnya puasa dengan keluarnya madzi, dan sebagian lainnya berpendapatnya puasanya tetap sah. Yang benarnya –insya Allah-, puasanya sah dan tidak ada kewajiban qadha` atas kalian berdua. Akan tetapi sepantasnya bagi seorang mukmin untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan keluarnya madzi, seperti memeluk, mencium dan semacamnya. Telah shahih dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau pernah mencium istrinya dalam keadaan beliau berpuasa serta memeluk dalam keadaan beliau berpuasa. Aisyah –radhiallahu anha- berkata,

“Akan tetapi beliau lebih kuat menahan syahwatnya daripada kalian.”

Diriwayatkan juga dari beliau -shallallahu alaihi wasallam- bahwa ada dua orang yang bertanya kepada beliau tentang hukum mencium istri bagi orang yang berpuasa, maka beliau melarang salah seorang di antara mereka dan mengizinkan yang lainnya. Perawinya berkata,

“Maka kami pun mengamati, ternyata orang yang beliau izinkan adalah orang yang sudah tua, dan ternyata orang yang beliau larang adalah seorang pemuda.”

Dari sini para ulama mengambil petikan hukum bahwa mencium dan memeluk dimakruhkan bagi pemuda dan selain mereka dari kalangan orang-orang syahwatnya bisa muncul ketika melakukannya dan dia dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam perkara yang haram (jima’).
Adapun orang yang tidak dikhawatirkan padanya hal ini, maka dia tidak dimakruhkan melakukannya. Hal ini didasarkan atas pendapat Ash-Shan’ani dan Syaikh Al-Albani karena tidak ada dalil yang menyatakan perbuatan ini adalah pembatal puasa. Adapun sekedar karena keluarnya mani, maka para ulama sepakat bahwa melakukan jima’ itu membatalkan puasa walaupun tidak ada mani yang keluar. Maka ini menunjukkan patokan pembatal puasa adalah perbuatan jima’, bukan keluarnya mani. Adapun sekedar karena adanya syahwat, maka kita katakan adanya syahwat tidak cukup untuk menghukumi batalnya puasa seseorang, sebagaimana yang akan datang bahwa orang yang mencium istrinya karena syahwat tidaklah membatalkan puasanya. Jadi, yang benar pada kasus di atas puasanya tidak batal, akan tetapi puasanya makruh bahkan dikhawatirkan dia kehilangan pahala puasanya -walaupun puasanya syah.[1]

3. Berciuman ketika berpuasa

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa;

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ. وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ: ( فِي رَمَضَانَ )

'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mencium sewaktu shaum dan mencumbu sewaku shaum, akan tetapi beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya di antara kamu. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat ditambahkan: Pada bulan Ramadhan
Jadi, berdasarkan hadits diatas, jika seseorang mencium istrinya, bermesraan dengannya dan memeluknya tanpa melakukan jima’ -dalam keadaan dia berpuasa- semuanya adalah boleh dan tidak ada masalah melakukannya, karena Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan pernah juga memeluknya dalam keadaan berpuasa. Akan tetapi kalau dikhawatirkan dia akan terjatuh ke dalam apa yang Allah haramkan atasnya (jima’) karena dia adalah orang yang syahwatnya cepat tergerak, maka semua perbuatan ini dimakruhkan atasnya.

4. Melakukan jima’ tetapi tidak di kemaluan.

Maksudnya dia menyentuhkan kemaluannya pada bagian tubuh istrinya (selain kemaluan) -misalnya di antara dua pahanya-, maninya keluar maupun tidak.
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:

a. Itu membatalkan puasanya dan dia wajib membayar kaffarah.
Ini adalah pendapat Malik, Atha`, Al-Hasan, Ibnul Mubarak, Ishaq, dan salah satu riwayat dari Ahmad.

b. Itu membatalkan puasanya akan tetapi tidak ada kewajiban kaffarah.Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan riwayat lain dari Ahmad.
Mereka mengatakan: Karena ini bukanlah jima’ yang sempurna sehingga dikiaskan dengan mencium, dan tidak ada dalil akan wajibnya kaffarah. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.

c. Tidak membatalkan puasanya walaupun maninya keluar. Ibnu Muflih condong kepada pendapat ini , begitu juga pendapat Ibnu Hazm.

d. Hukum bagi suami istri yang melakukan hubungan badan di bulan ramadhan dan mereka dalam keadaan safar
Untuk pasangan suami istri yang melakukan hubungan suami istri tetapi mereka dalam keadaan safar atau berpergian, maka tidak perlu membayar kafarat (tebusan) dan dia tidak berdosa. Karena musafir dibolehkan berbuka puasa, akan tetapi dia harus mengqada hari yang dia berbuka.

Al-Lajnah Ad-Daimah (10/202) ditanya tentang hukum orang yang berhubungan badan dengan istrinya waktu siang hari di bulan Ramadan sementara keduanya dalam kondisi safar dan berbuka puasa? Maka dijawab: Dibolehkan bagi musafir di siang hari bulan Ramadan untuk berbuka dan mengqadanya.

Berdasarkan Firman Allah:
"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185)

Dalam Majmu’ Fatawa (15/307) ada yang bertanya tentang hukum orang yang menggauli istrinya di siang hari dalam kondisi berpuasa. Apakah musafir dibolehkan menggauli istrinya apabila dia telah berbuka?
Beliau menjawab: Bagi orang yang berhubungan badan di siang hari bulan Ramadan sementara dia dalam kondisi wajib berpuasa, maka dia harus membayar kafarat (tebusan), yaitu kafarat zihar (memerdekakan budak, kalau tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu, maka memberi makan enampuluh fakir miskin). Di samping itu tetap harus mengqada hari itu dan bertaubat kepada Allah subhanahu wata'ala terhadap perbuatan yang dia lakukan. Namun, kalau dia dalam kondisi safar (bepergian) atau sakit yang dibolehkan untuk berbuka, maka dia tidak terkena kafarat dan tidak ada dosa baginya, namun dia harus mengqada untuk hari itu. Karena orang sakit dan musafir dibolehkan berbuka puasa, baik dengan berhubungan badan atau dengan yang lainnya.

Berdasarkan firman Allah:
"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184).

Hukum wanita dalam hal ini sama seperti laki-laki. Kalau dalam kondisi melakukan puasa wajib, maka dia harus membayar kafarat. Kalau dalam kondisi musafir atau sakit yang merasakan payah dengan berpuasa, maka dia tidak terkena kewajiban apa-apa.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga ditanya dalam Fatawa Shiyam (344) tentang seorang yang berhubungan badan dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan dalam kondisi safar?
Beliau menjawab: "Hal itu tidak mengapa, karena musafir dibolehkan berbuka dengan makan, minum maupun berhubungan badan. Maka hal itu tidak apa-apa dan tidak perlu membayar kafarat. Akan tetapi dia harus mengqada hari dia berbuka puasa. Begitu juga berlaku bagi isteri yang ikut safar bersamanya, baik dia berbuka maupun belum berbuka. Akan tetapi kalau istrinya dalam kondisi muqim (menetap) maka suaminya tidak boleh menggaulinya karena akan merusak puasanya dan sang isteri wajib menolaknya.".

c. Hukum bagi suami istri yang melakukan hubungan badan di siang hari bulan ramadhan.

Berhubungan badan di siang hari, pada bulan ramadhan, hukumnya DILARANG alis HARAM!!!.

d. Hukum Onani di siang hari di bulan ramadhan

“Orang-orang yang beriman ialah orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Mukminun : 5-7)

Dan juga Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa” (HR. Bukhari No. 1905, Muslim 3379).

Dari ayat Al Qur’an ataupun Hadist diatas sudah jelas bahwasannya hukum dari onani adalah haram. Meski beberapa ulama berpendapat bahwa Onani makruh untuk dilakukan.

4. Hukuman atau denda bagi orang yang melakukan hubungan badan di siang hari di bulan ramadhan.

Beberapa ulama menyatakan bahwa hukuman bagi orang yang melakukan hubungan suami istri di siang bulan ramadhan adalah sama dengan hukuman bagi pelaku dzihar. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Mujadillah ayat 3:
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dan Al Mujadillah ayat 4:
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Jadi kafarah atau denda yang harus ditunaikan antara lain adalah:

1. memerdekakan budak
2. berpuasa dua bulan berturut-turut
3. memberi makan 60 fakir miskin.

Dalam sebuah hadist diriwayatkan:

َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ ? قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً? قَالَ: لَا قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ? قَالَ: لَا قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا? قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا , فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا? فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ:اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ ) رَوَاهُ اَلسَّبْعَةُ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم
ٍ
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku telah celaka. Beliau bertanya: "Apa yang mencelakakanmu?" Ia menjawab: Aku telah mencampuri istriku pada saat bulan Ramadhan. Beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak?" ia menjawab: Tidak. Beliau bertanya: "Apakah engkau mampu shaum dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab: Tidak. Lalu ia duduk, kemudian Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberinya sekeranjang kurma seraya bersabda: "Bersedekahlan dengan ini." Ia berkata: "Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Padahal antara dua batu hitam di Madinah tidak ada sebuah keluarga pun yang lebih memerlukannya daripada kami. Maka tertawalah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sampai terlihat gigi siungnya, kemudian bersabda: "Pergilah dan berilah makan keluargamu dengan kurma itu." Riwayat Imam Tujuh dan lafadznya menurut riwayat Muslim.[2]

Dan pada riwayat lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Dan puasalah engkau menggantikan hari tersebut.”[3]
Jadi, selain harus menunaikan kafarah, seorang yang melakukan jima’ juga harus meng qadla puasa dihari dimana dia meninggalkan attau membatalkan puasa.
Hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kaffarah:[4]

- Kaffarah jima’ berlaku secara tertib sebagaimana halnya pada kaffarah zhihar.
Sebagaimana yang ditunjukkan secara eksplist oleh hadits Abu Hurairah -radhiallahu ’anhu- bahwa kaffarah bagi seseorang yang melakukan jima’ pada siang hari Ramadhan tanpa adanya udzur syar’i, waib diberlakukan secara tertib. Maka keharusan baginya adalah membebaskan seorang hamba sahaya, jika dia tidak sanggup melakukannya, maka diharuskan berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika dia tidak sanggpup melakukannya, maka diharuskan untuk memberi makan enam puluh orang miskin. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun mazhab Malik, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa seseorang boleh memilih kaffarah yang diharuskan baginya, tanpa adanya tertib. Dan salah satu dari tiga kaffarah tersebut yang dipilihnya sudah cukup baginya.
Mereka berargumen dengan hadits pada bab ini, dan pada sebuah lafazhnya, bahwa seseorang berbuka dengan sengaja pada siang hari Ramadhan, maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk membayarkan kaffarah dengan membebaskan seorang budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Dimana kata, “atau” pada hadits mengindikasikan bolehnya memilih.

- kaffarah harus diberlakukan secara tertib urutan pilihannya:
Dikarenakan hadits diatas telah diriwayatkan dari beberapa jalur periwayatan dan pada kesemua jalur periwayatan tersebut menyebutkan adanya tertib pemberlakuan kaffarah. Dan juga yang menunjukkan bahwa tidak diperkenankan untuk memilih, karena konteks hadits tersebut sebagai sebuah penjelasan dan jawaban atas sebuah soal, yang kedudukannya setara dengan sebuah syarat hukum.

1. Hamba sahaya berlaku umum, mencakup hamba laki-laki maupun wanita, baik yang beriman atau seorang kafir.

Pembatasan makna budak dalam hadits Abu Hurairah, bahwa yang dimaksud adalah budak yang beriman/muslim sebagaimana yang terdapat pada kaffarah zhihar tidaklah tepat. Disebabkan adanya perbedaan hukum dan sebab.
Masalah ini erat kaitannya dengan perbedaan kalangan fuqaha dan ushuliyyiin dalam kaidah “taqyiid al-muthlaq” -pembatasan suatu konteks nash yang global-, jika terdapat dua nash atau lebih yang dapat diberlakukan sebagai pembatas makna konteks global tersebut. Yang tepat dalam masalah tersebut, haruslah melihat kepada sebab hukum, hingga konteks nash yang mutlak dapat dibatasi dengannya. Jika sebabnya satu maka boleh di batasi dengannya jika tidak maka juga tidak diperbolehkan.

2. Diharuskan memberi makan enam puluh orang miskin, tanpa adanya khilaf/perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Namun ulama berbeda pendapat, apakah diperbolehkan memberi makan hanya kepada seorang miskin selama enam puluh hari ataukah tidak? Terdapat dua pendapat dikalangan ulama:
Mayoritas ulama berpendapat, pelarangan hal tersebut. Dikarenakan hadits tersebut disebutkan enam puluh orang miskin. Sedangkan ulama mazhab Hanafiyah berpendapat, bolehnya.

- Kaffarah memberi makan kaum miskin, adalah dengan memberi satu mud makanan kepada masing-masing dari mereka, baik itu berupa gandum, kurma kering, kurma ataukah selainnya.
Pendapat tersebut adalah pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah. Sementara ulama mazhab Hanafiyah, mengharuskan pemberian dua mud gandum, sedangkan biji-bijian lainnya sebesar satu sha`.
Namun zhahir hadits Abu Hurairah, tidak terdapat pembatasan nilai dan besar makanan yang harus diberikan. Dengan demikian, takaran nilai makanan yang diberikan dikembalikan kepada ’urf/kebiasaan setempat, baik dari jenis makanannya maupun nilainya. Dan yang seharusnya, makanan tersebut telah memenuhi makna, “memberi makan ornag miskin,” yaitu mencukupkan mereka pada hari tersebut.

Permasalahan timbul jika orang yang bersangkutan tidak dapat menunaikan kaffarah. Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat dikalangan ulama, yaitu
Pendapat pertama, bahwa kaffarah tidaklah gugur hanya dikarenakan ketidak mampuan seseorang membayarkan kaffarah. Dan pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Berdasarkan pendapat ini, jika seseorang dalam keadaan tidak mampu/kesulitan membayarkan kaffarah, maka diberikan jeda waktu untuk membayar kaffarah, yaitu hingga dia sanggup menunaikannya.
Pendapat yang kedua bahwa kaffarah telah gugur dengan sendirinya jika orang tersebut tidak memiliki kesanggupan untuk membayarkan kaffarah. Pendapat ini adalah pendapat beberapa ulama mazhab Malikiyah dan salah satu dari dua pendapat Imam asy-Syafi’i.
Pendapat inilah yang lebih tepat, sesuai dengan zhahir hadits Abu Hurairah diatas. Dan juga Allah ta’ala berfirman,

“Dan Allah tidak akan membebani hambanya kecuali yang sanggup diupayakannya.” (al-Baqarah: 286)
Selain permasalah di atas, kemudian timbul pertanyaan lain. Apakah kaffarah ini hanya berlaku bagi laki-laki (suami) ataukah juga harus ditunaikan oleh pihak perempuan (istri)? Dalam hal ini terdapat perbedaan.

Pertama, yang merupakan pendapati mayoritas ulama, bahwa kaffarah juga diharuskan bagi si wanita sebagaimana kaffarah wajib bagi laki-laki (suaminya).
Ini merupakan pendapat Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir, bahwa kaffarah wajib bagi wanita juga, dalam tinjauan ragam perbedaan dan rinciannya dalam pandangan mereka, pada wanita yang mardeka, budak sahaya, yang merelakan dirinya atau yang dipaksa melakukannya, dan apakah kaffarah tersebut diharuskan bagi si wanita atau kepada si laki-laki.
Ulama asy-Syafi’iyah berargumen dengan diamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan tidak mengabarkan tentang keharusan kaffarah bagi wanita sementara hal tersebut suatu yang urgen.
Dan pula, pejelasan hukum kepada laki-laki tersebut juga merupakan penjelasan hukum kepada si wanita, karena keduanya berkedudukan sama dalam pengharaman berbuka dan melanggar kehormatan puasa Ramadhan.
Sebagaimana halnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh laki-laki tersebut untuk mandi (janabah), karena penegasan adanya nash pada sebuah hukum untuk beberapa sebagian mukallaf sudah mencukupi pemberlakuannya bagi mukallaf yang lainnya.

Kedua, bahwa kaffarah tidak wajib bagi wanita. Dan jika laki-laki (suaminya) telah membayarkan kaffarah, maka kaffarah tersebut telah mencukupkannya dan juga istrinya.

Alasan ini didasarkan pada bahwasannya Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “… Hadist itu, dijadikan dasar argumen bahwa kaffarah hanya diwajibkan bagi laki-laki seorang tidak kepada wanita yang digaulinya. Demikian juga dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menanyakannya beberapa kali kepada orang tersebut, ”Apakah engkau sanggup?” dan “Apakah engkau memiliki kemampuan?” dan selain itu. Pendapat inilah yang paling shahih dari dua pendapat asy-Syafi’i dan juga merupakan pendapat al-Auza'i.

- Bagaimana jika dia melakukan hubungan tersebut lebih dari sekali (dua atau tiga kali dalam sehari)?
Ulama fikih bersepakat bahwa siapa yang melakukan hubungan suami istri pada siang hari ramadham, lebih dari sekali dalam sehari, maka dia hanya berkewajiban menggantinya dengan satu kaffarat.[5]
Bagaimana jika hal itu diulanginya pada hari-hari selanjutnya?. Menurut mazhab Imam Malik, Imam Syafi’i dan beberapa riwayat dari Imam Ahmad, mengatakan bahwa siapa siapa melakukan hubungan suami istri di suatu hari, kemudian mengulanginya pada hari yang lain, maka dia berkewajiban melaksanakan dua kaffarat. Alasannya: setiap hari memiliki kewajiban ibadah yang berdiri sendiri.

5. Bolehnya menunda mandi Junub setelah adzan shubuh di bulan ramadhan.

وَعَنْ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ, ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ زَادَ مُسْلِمٌ فِي حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ: و لَا يَقْضِي
َ
Dari 'Aisyah dan Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memasuki waktu pagi dalam keadaan junub karena bersetubuh. Kemudian beliau mandi dan shaum. Muttafaq Alaihi. Muslim menambahkan dalam hadits Ummu Salamah: Dan beliau tidak mengqodlo' puasa.

Dari hadits di atas dapat kita pahami bahwasannya dibolehkan untuk menunda mandi junaub setelah adzan shubuh, tetapi dengan ketentuan sampai sebelum fajar terbit atau habisnya waktu sholat shubuh. Terlebih lagi hadits tersebut diatas menduduki peringkat shahih. Selain itu, dilakukannya mandi junub tidak berhubungan sama sekali dengan sah dan tidaknya puasa. Tetapi lebih ke melaksanakan sholat shubuh atau tidak.
Namun demikian dilarang bagi seseorang melakukan mandi junub setelah terbitnya matahari karena hal itu berarti mengakhirkan dan menyia-nyiakan pelaksanaan shalat shubuh dan hal ini dilarang Allah swt.
Artinya : “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)

C. Penutup

Dari berbagai uraian yang sangat mungkin muncul dalam melaksanakan puasa ramadhan, diharapkan kita bisa mengambil kesimpulan dengan sikap yang paling bijaksana dan tidak hanya berdasarkan keinginan nafsu pribadi belaka.
Semoga uraian hukum di atas kita sebagai muslim bisa membina hubungan kekeluargaan tetap romantis, manis dan harmonis meskipun di bulan ramadhan. Wallahu ‘alam.

Lima golongan yang boleh membatalkan puasa ramadlan:
Allah menyukai keringanan yang diberikan dijalankan hamba-Nya. Begitu juga dengan rukshah atau keringanan bagi orang-orang tertentu untuk tidak berpuasa. Lantas siapakah orang yang masuk dalam kategori diringankan tersebut?

1. Musafir dan 2. Orang sakit

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185].
Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahuaalam

3. Haid dan nifas

Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan berpuasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha, kalaupun keduanya puasa (maka puasanya) tidak sah.

4. Kakek dan nenek yang sudah lanjut usia.

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata : “Kakek dan nenek yang lanjut usia, yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin” [Hadits Riwayat Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma' no. 129 akan adanya ijma (kesepakatan) dalam masalah ini].

5. Wanita hamil dan menyusui.

Dari Anas bin Malik [1], ia berkata : “Kudanya Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda,

“Mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa”. Demi Allah, Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya. [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa'i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah 16687. Sanadnya hasan (baik, red) sebagaimana pernyataan Tirmizi.

Mudah2 artikel diatas bisa bermanfaat and menambah wawasan anda,, terimakasih,,

                 Bye

           OFICK-GR
(Unlimited Gerisak Center)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar